KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM KUHAP

Saksi dalam pengertian sehari-hari adalah mereka yang melihat dan/atau tahu tentang suatu hal atau peristiwa.. Untuk membenarkan pernyataan yang dibuat, tidak jarang kita menyebut orang lain untuk di tanyai kebenaran tentang hal dinyatakan tersebut apabila terdapat keragu-raguan, atau sekedar menguatkan asumsi telah terjadi hal sebagaimana telah dinyatakan oleh orang yang memberikan pernyataan.

Konteks pembicaraan saksi yang dimaksud disini adalah makhluk hidup yakni manusia. Mengapa makhluk hidup lainnya tidak termasuk kedalam konteks saksi adalah disebabkan hewan dan tumbuhan tidak mampu mengkodifikasikan apa yang dilihat dan/atau dirasakannya dalam bentuk bahasa atau berbagai macam kode yang mudah dipahami oleh manusia.
Menurut  Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang umum disebut dengan KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
Pengertian saksi yang dimaksud oleh KUHAP di atas telah “dirombak” oleh Mahkamah Konstitusi melalui  putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010, sehingga pemaknaan saksi dalam KUHAP, tidak melulu tentang apa yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dan dia alami sendiri, namun harus dimaknai pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Keterangan saksi termasuk sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana Indonesia, hal tersebut berdasarkan Pasal 184 KUHAP ayat (1), yang dimaksud dengan Alat bukti yang sah adalah:
a.Keterangan saksi;
b.Keterangan ahli;
c.Surat;
d.Petunjuk;
e.Keterangan terdakwa;
Berdasarkan Pasal tersebut, yang menjadi alat bukti dalam hukum acara pidana Indonesia adalah keterangan saksi, bukan saksi itu sendiri. Hal ini penting terkait apabila salah satu saksi meninggal dunia, sementara saksi yang dapat dihadirkan misalnya hanya dua, sehingga hanya satu saksi saja yang masih hidup, maka hal tersebut tidak sekonyong-konyong menyebabkan alat bukti menjadi kurang. (penjelasan mengenai batas alat bukti dalam hukum acara pidana Indonesia akan diterangkan selanjutnya pada artikel ini)
Oleh karena keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti, maka saksi melalui serangkaian pemeriksaan (biasanya dengan pertanyaan-pertanyaan), diambil keterangannya oleh penyidik maupun pengadilan, kemudian setelah keterangan itu diberikan, maka saksi tidak terikat lagi dengan jalannya acara penyidikan atau persidangan, atau dapat melanjutkan kegiatannya masing-masing.
KUHAP juga memperbolehkan penyampaian keterangan saksi tanpa harus dilakukan di hadapan persidangan. Pasal 162 KUHAP menyebutkan:
jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di siding atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan”.
Pada dasarnya, meskipun sedemikian banyak yang bersaksi dalam pemeriksaan pembuktian, apabila keterangannya tidak berkualitas atau tidak dapat membuat terang suatu tindak pidana, maka hal tersebut merupakan bentuk ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, KUHAP menyelaraskan antara kuantitas dengan kualitas dari saksi. 
KUHAP menyebutkan dengan tegas pada Pasal 183, yakni Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal tersebut memberikan gambaran, bahwa setidaknya ada dua alat bukti yang sah yang dapat membuktikan kesalahan dari tersangka atau terdakwa.
Terkait dengan alat bukti keterangan saksi, batasan dua alat bukti tersebut diperkuat lagi pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: 
“keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membutikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. 
Pasal 185 ayat (2) KUHAP merupakan “kristalisasi” asas hukum unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). 
Kesimpulannya, KUHAP secara tegas mengharuskan setidaknya dua alat bukti yang sah untuk menunjukkan kesalahan tersangka atau terdakwa, atau setidak-tidaknya ada dua orang saksi yang memberikan keterangan untuk terangnya terjadinya suatu tindak pidana.
Setelah menjelaskan kuantitas saksi dalam pembuktian suatu tindak pidana, KUHAP menjabarkan ada hal-hal yang perlu diperhatikan terkait keterangan saksi, agar keterangan tersebut “berkualitas”. 
Adapun patokan “kualitas” dari keterangan saksi, dapat dilihat dalam Pasal 185 KUHAP, yakni sebagai berikut:
(1)Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;
(2)Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
(4)Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri - sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;
(5)Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi;
(6)Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh - sunggguh memperhatikan:
a. Persesuaian antara keterangan saksi atau satu dengan yang lain;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c.Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d.Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7)Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Kemudian, untuk menjadi saksi, maka keadaan orang tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang dimaksud dalam Pasal 168 KUHAP, dimana pasal tersebut tidak memperbolehkan (dan dapat mengundurkan diri) sebagai saksi:
a.keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
b.saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
c.suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Adapun KUHAP menentukan bahwa alat bukti yang diperlukan untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa sedikitnya adalah dua alat bukti. Alat-alat bukti yang dimaksud tidak terbatas pada satu atau dua jenis alat bukti, namun ada 5 (lima jenis) alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Meskipun alat bukti yang sah telah diatur sedemikian rupa oleh KUHAP, namun tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau tambahan atau perluasan dari apa yang telah diatur dalam KUHAP. Sebagai perluasan alat bukti yang sah dalam KUHAP, Undang-Undang ITE memperluas alat bukti dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Hal tersebut dimuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni sebagai berikut:
(1)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 
(2)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 
(3)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini. 
(4)Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: 
a.surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b.surat beserta dokumennya yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Keseluruhan alat-alat bukti yang diatur dalam hukum acara pidana Indonesia (diatur dalam KUHAP maupun diluar KUHAP), pada dasarnya memiliki kekuatan pembuktian yang setara. Menurut M. Yahya Harahap (M. Yahya Harahap,2006:294), alat bukti keterangan saksi yang diatur KUHAP sifatnya:
a)Mempunyai kekuatan pembuktian bebas;
Kalau begitu pada alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna” (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas”. Oleh karena itu, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan, atau dengan singkat dapat dikatakan, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan “tidak sempurna” dan tidak “menentukan” atau “tidak mengikat”.
b)Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim;
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yan bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat “menerima” atau “menyingkirkannya”.
 Oleh karena itu, ada atau tidaknya salah satu alat bukti yang diatur dalam KUHAP, tidak menjadi hambatan pemeriksaan suatu tindak pidana, asalkan tetap ada alat bukti yang sah lainnya (yg diatur KUHAP) setidak-tidaknya dua alat bukti, dimana dari alat bukti tersebut, hakim dapat memperoleh keyakinan tentang suatu tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP - Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali - Edisi Kedua,  Jakarta: Sinar Grafika.