Pencabutan Hak Atas Tanah

Pencabutan Hak Atas Tanah
Pasal 18 UUPA menyatakan:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”.
Sederhananya dapat dikatakan bahwa demi kepentingan umum, maka hak-hak atas tanah dapat dicabut oleh negara dengan memberikan ganti rugi. Terkait dengan hak milik, sebenarnya telah dinyatakan dalam definisi hak milik yang dengan tegas dinyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.[1] Sehingga atas dasar fungsi sosial itulah, Negara berwenang untuk mencabut hak atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat.
Payung hukum atau ketentuan yang mendasari dilakukannya pencabutan hak atas tanah ini dahulunya diatur dengan Staatsblad 1920 Nomor 574, atau dikenal dengan sebutan “Onteigening-sordonnantie”. Ordonansi tersebut telah beberapa kali diubah dan ditambah, yang terakhir dengan Staatsblad 1947 Nomor 96, dengan maksud untuk menyesuaikannya dengan perubahan keadaan dan keperluan. Akan tetapi, biarpun demikian Onteigening-sordonnantie tetap tidak sesuai lagi dengan keperluan dewasa ini. Peraturan tersebut disusun atas dasar pengertian hak “eigendom” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 570 BW yaitu hak perseorangan yang tertinggi menurut hukum barat dan mutlak serta tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu Onteigening-sordonnantie memuat ketentuan-ketentuan yang memberi perlindungan yang terlalu berlibihan atas hak-hak perseorangan. Berhubung dengan itu maka untuk mengadakan pencabutan hak menurut ordonansi tersebut harus dilalui proses yang panjang dan diperlukan waktu yang cukup lama, sebab harus melalui beragam instansi, baik itu instansi legislatif, eksekutif maupun pengadilan.[2] Memang benar, bahwa berdasarkan ordonansi tersebut, maka dalam keadaan tertentu seperti keadaan darurat dan guna pembangunan perumahan rakyat, proses pencabutan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara yang lebih singkat, namun secara keseluruhan, semangat yang ada dalam ordonansi tersebut sudah tidak sama dengan semangat yang dikedepankan dalam UUPA. Sebab semangat individualisme dan kekuasaan mutla atas tanah sebagaimana yang digariskan dalam pengertian hak eigendom berdasarkan hukum barat (Pasal 570 BW) tidak lagi sama dengan semangat kebersamaan dan gotong royong yang dianut di dalam UUPA yang tentunya lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Atas dasar itulah sehingga ordonansi tersebut dicabut kemudian diterbitkanlah Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.
Dalam pelaksanaannya UU No. 20 Tahun 1961 ini ditunjang dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, harus diakui bahwasanya ketiga ketentuan di atas tidak lagi sesuai dengan keadaan masyarakat yang berada dalam alam demokrasi. Karena kekuasaan pemerintah dalam mencabut hak atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat begitu besar, sementara kekuasaan tersebut tidak dibarengi dengan tersebianya ruang yang cukup untuk pihak yang dirugikan dalam memperjuangkan hak-haknya. Sehingga perlahan-lahan ketentuan tersebut diperlunak dengan diterbitkannya peraturan-peraturan yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Adapun peraturan-peraturan yang pernah diterbitkan dan sebagian masih berlaku berkaitan dengan pengaddaan tanah untuk kepentingan umum, antara lain:
  1. Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya;
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya;
  4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya;
  5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang telah dicabut dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, selanjutnya dicabut dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
  6. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dicabut dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Yang selanjutnya dicabut dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
  7. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-31/PB/2008 Tentang Mekanisme Pembayaran Biaya Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Yang Dananya Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 Tentang Biaya Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;



[1] Lihat Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 6 UUPA.
[2] Lihat penjelasan umum Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.

Pengangkatan / adopsi anak WNI oleh WNA

Pengangkatan / Adopsi Anak WNI oleh WNA

Adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Pada dasarnya pengangkatan anak terdiri atas:

pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (“WNI); dan
pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing (“WNA”).
Dalam konteks pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan soal pengangkatan anak pada poin kedua di atas, yakni pengangkatan anak antara WNI dengan WNA. Pengangkatan ini kemudian dibagi lagi menjadi:

pengangkatan anak WNI oleh WNA; dan
pengangkatan anak WNA di Indonesia oleh WNI
Oleh karena itu, mari kita bahas soal pengangkatan anak WNI oleh WNA.

Sebenarnya pengangkatan anak WNI oleh WNA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Jadi pada dasarnya sebisa mungkin pengangkatan anak Indonesia itu hanya dilakukan oleh WNI juga.

Sama halnya seperti pengangkatan anak oleh WNI, pengangkatan anak WNI oleh WNA ini dilakukan melalui putusan pengadilan. Sedangkan syarat anak yang diangkat dan prosedur pengangkatan anak melalui putusan pengadilan oleh WNA ini pada dasarnya sama dengan pengangkatan oleh WNI. Selengkapnya tentang prosedur dan tata cara pengangkatan anak dapat Anda simak dalam artikel Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya.

Namun, ada syarat tambahan pengangkatan anak WNI oleh WNA, yakni harus memenuhi syarat:

memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;
memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan
melalui lembaga pengasuhan anak.
Syarat Calon Orang Tua Angkat WNA

Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:

sehat jasmani dan rohani;
berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
beragama sama dengan agama calon anak angkat;
berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
tidak merupakan pasangan sejenis;
tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
Selain memenuhi syarat-syarat di atas, calon orang tua angkat WNA juga harus memenuhi syarat:

telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan
membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada untuk Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Permohonan pengangkatan anak WNI oleh WNA yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan pengadilan dan harus dilaksanakan di Indonesia. Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim Pertimbangan, yaitu yaitu tim yang dibentuk oleh Menteri, yang bertugas memberikan pertimbangan dalam memperoleh izin pengangkatan anak dan beranggotakan perwakilan dari instansi yang terkait.

Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (“Tim PIPA”) ini adalah suatu wadah pertemuan koordinasi lintas Instansi guna memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antara WNI dengan WNA atau kepada Gubernur untuk pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antar WNI, yang diselenggarakan secara komperhensif dan terpadu.

Ada juga kewajiban lain yang wajib dipatuhi oleh orang tua angkat WNA, yakni orang tua angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat paling singkat sekali dalam 1 (satu) tahun, sampai dengan anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

Tata Cara Pengangkatan Anak WNI oleh WNA

Calon Orang Tua Angkat (“COTA”) mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Menteri Sosial di atas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif Calon Anak Angkat (“CAA”) dan COTA;
Menteri c.q. Direktur Pelayanan Sosial Anak menugaskan Pekerja Sosial Instansi Sosial untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan dilakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA;
Direktur Pelayanan Sosial Anak atas nama Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Keputusan Izin Pengasuhan Anak Sementara kepada COTA melalui Lembaga Pengasuhan Anak;
penyerahan anak dari Lembaga Pengasuhan Anak kepada COTA;
bimbingan dan pengawasan dari Pekerja Sosial selama pengasuhan sementara;
COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak disertai pernyataan mengenai motivasi pengangkatan anak kepada Menteri Sosial di kertas bermaterai cukup;
kunjungan rumah oleh Pekerja Sosial Kementerian Sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA;
Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam Tim PIPA;
diterbitkannya Surat rekomendasi dari Tim PIPA tentang perizinan pertimbangan pengangkatan anak;
Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Izin pengangkatan anak untuk untuk ditetapkan di pengadilan;
apabila permohonan pengangkatan anak ditolak maka anak akan dikembalikan kepada orang tua kandung/ wali yang sah/kerabat, Lembaga Pengasuhan Anak, atau pengasuhan alternatif lain sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak;
setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Kementerian Sosial; dan
Kementerian Sosial mencatat dan mendokumentasikan pengangkatan anak tersebut.
Akibat Hukum Waris Pengangkatan Anak WNI oleh WNA

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya, berikut akibat hukum pengangkatan anak:

Hukum Islam:

Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991).

Peraturan Perundang-undangan:

Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.

Agama Calon Anak Angkat dan Calon Orang Tua Angkat

Hal penting yang sekiranya perlu kami sampaikan soal pengangkatan anak oleh WNA ini adalah soal urusan agama. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikelBolehkah Mengangkat Anak yang Berbeda Agama?

Contoh Kasus Permohonan Pengangkatan Anak oleh WNA

Meski tidak dikabulkan oleh hakim, setidaknya pernah ada contoh kasus pengangkatan anak yang pernah dimohonkan oleh seorang WNA. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Mungkid Nomor 62/Pdt. P/2010/PN. Mkd diketahui pemohon adalah warga negara Singapura berusia 45 tahun yang telah lama tinggal di Indonesia untuk bekerja. Pemohon juga belum menikah, namun Pemohon sangat mendambakan kehadiran seorang anak dalam kehidupannya. Meskipun Pemohon telah menunjukkan bukti-bukti dan saksi untuk keperluan syarat pengangkatan anak, namun menurut pengadilan pemohon belum memenuhi persyaratan yang ditentukan, antara lain yaitu syarat harus sudah menikah paling singkat 5 (lima) tahun. Di samping itu, pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh pemohon yang berkewarganegaraan Indonesia. Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, maka pengadilan menolak permohonan pengangkatan anak oleh pemohon.

Adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Pada dasarnya pengangkatan anak terdiri atas:
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (“WNI); dan
pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing (“WNA”).
Dalam konteks pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan soal pengangkatan anak pada poin kedua di atas, yakni pengangkatan anak antara WNI dengan WNA. Pengangkatan ini kemudian dibagi lagi menjadi:

pengangkatan anak WNI oleh WNA; dan
pengangkatan anak WNA di Indonesia oleh WNI
Oleh karena itu, mari kita bahas soal pengangkatan anak WNI oleh WNA.

Sebenarnya pengangkatan anak WNI oleh WNA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Jadi pada dasarnya sebisa mungkin pengangkatan anak Indonesia itu hanya dilakukan oleh WNI juga.

Sama halnya seperti pengangkatan anak oleh WNI, pengangkatan anak WNI oleh WNA ini dilakukan melalui putusan pengadilan. Sedangkan syarat anak yang diangkat dan prosedur pengangkatan anak melalui putusan pengadilan oleh WNA ini pada dasarnya sama dengan pengangkatan oleh WNI. Selengkapnya tentang prosedur dan tata cara pengangkatan anak dapat Anda simak dalam artikel Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya.

Namun, ada syarat tambahan pengangkatan anak WNI oleh WNA, yakni harus memenuhi syarat:

memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;
memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan
melalui lembaga pengasuhan anak.
Syarat Calon Orang Tua Angkat WNA

Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:

sehat jasmani dan rohani;
berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
beragama sama dengan agama calon anak angkat;
berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
tidak merupakan pasangan sejenis;
tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
Selain memenuhi syarat-syarat di atas, calon orang tua angkat WNA juga harus memenuhi syarat:

telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan
membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada untuk Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Permohonan pengangkatan anak WNI oleh WNA yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan pengadilan dan harus dilaksanakan di Indonesia. Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim Pertimbangan, yaitu yaitu tim yang dibentuk oleh Menteri, yang bertugas memberikan pertimbangan dalam memperoleh izin pengangkatan anak dan beranggotakan perwakilan dari instansi yang terkait.

Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (“Tim PIPA”) ini adalah suatu wadah pertemuan koordinasi lintas Instansi guna memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antara WNI dengan WNA atau kepada Gubernur untuk pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antar WNI, yang diselenggarakan secara komperhensif dan terpadu.

Ada juga kewajiban lain yang wajib dipatuhi oleh orang tua angkat WNA, yakni orang tua angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat paling singkat sekali dalam 1 (satu) tahun, sampai dengan anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

Tata Cara Pengangkatan Anak WNI oleh WNA

Calon Orang Tua Angkat (“COTA”) mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Menteri Sosial di atas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif Calon Anak Angkat (“CAA”) dan COTA;
Menteri c.q. Direktur Pelayanan Sosial Anak menugaskan Pekerja Sosial Instansi Sosial untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan dilakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA;
Direktur Pelayanan Sosial Anak atas nama Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Keputusan Izin Pengasuhan Anak Sementara kepada COTA melalui Lembaga Pengasuhan Anak;
penyerahan anak dari Lembaga Pengasuhan Anak kepada COTA;
bimbingan dan pengawasan dari Pekerja Sosial selama pengasuhan sementara;
COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak disertai pernyataan mengenai motivasi pengangkatan anak kepada Menteri Sosial di kertas bermaterai cukup;
kunjungan rumah oleh Pekerja Sosial Kementerian Sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA;
Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam Tim PIPA;
diterbitkannya Surat rekomendasi dari Tim PIPA tentang perizinan pertimbangan pengangkatan anak;
Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Izin pengangkatan anak untuk untuk ditetapkan di pengadilan;
apabila permohonan pengangkatan anak ditolak maka anak akan dikembalikan kepada orang tua kandung/ wali yang sah/kerabat, Lembaga Pengasuhan Anak, atau pengasuhan alternatif lain sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak;
setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Kementerian Sosial; dan
Kementerian Sosial mencatat dan mendokumentasikan pengangkatan anak tersebut.
Akibat Hukum Waris Pengangkatan Anak WNI oleh WNA

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya, berikut akibat hukum pengangkatan anak:

Hukum Islam:

Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991).

Peraturan Perundang-undangan:

Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.

Agama Calon Anak Angkat dan Calon Orang Tua Angkat

Hal penting yang sekiranya perlu kami sampaikan soal pengangkatan anak oleh WNA ini adalah soal urusan agama. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.[15] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikelBolehkah Mengangkat Anak yang Berbeda Agama?

Contoh Kasus Permohonan Pengangkatan Anak oleh WNA

Meski tidak dikabulkan oleh hakim, setidaknya pernah ada contoh kasus pengangkatan anak yang pernah dimohonkan oleh seorang WNA. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Mungkid Nomor 62/Pdt. P/2010/PN. Mkd diketahui pemohon adalah warga negara Singapura berusia 45 tahun yang telah lama tinggal di Indonesia untuk bekerja. Pemohon juga belum menikah, namun Pemohon sangat mendambakan kehadiran seorang anak dalam kehidupannya. Meskipun Pemohon telah menunjukkan bukti-bukti dan saksi untuk keperluan syarat pengangkatan anak, namun menurut pengadilan pemohon belum memenuhi persyaratan yang ditentukan, antara lain yaitu syarat harus sudah menikah paling singkat 5 (lima) tahun. Di samping itu, pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh pemohon yang berkewarganegaraan Indonesia. Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, maka pengadilan menolak permohonan pengangkatan anak oleh pemohon.

PTUN

PTUN(ADMINISTRATIF)

Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara[1].

Peradilan Tata Usaha Negara meliputi:

  1. Pengadilan Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota
  2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi
  3. Pengadilan Khusus

Peradilan ini memang dikenal baru di Indonesia, dan masih sedikit orang yang mengerti dan mengetahuinya. Kami sebagai kantor hukum professional yang telah memiliki pengalaman yang cukup luas mengetahui akan hal tersebut. Oleh karena itu, kami tetap melayani anda untuk perkara dalam hal PTUN ini.

Hukum Perdata

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)

Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :

  • BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
  • WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]

Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda

KUHPERDATA


Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata baratBelanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.you

. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Isi KUHPerdata


KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :

  1. Buku 1 tentang Orang / Van Personnenrecht
  2. Buku 2 tentang Benda / Zaakenrecht
  3. Buku 3 tentang Perikatan / Verbintenessenrecht
  4. Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian / Verjaring en Bewijs
Tidak berbeda jau dengan penanganan Perkara Hukum Pidana, perkara perdata juga sudah cukup umum. Untuk itulah Kami tetap memberikan pelayanan terbaik, dan tim-tim advokasi professional yang selalu siap bekerja keras membantu anda.

Hukum Pidana

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.
Penangana akan perkara hukum ini memang sudah sangat umum dan sering, oleh karena itu, kami akan selalu mencoba untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi anda untuk pemecahan masalah perkara hukum pidana anda.